Senayan Publishing
Cerdas dan Berkualitas
Seri Motivasi & Manajemen Diri Muslim
Kekuatan Motivasi
Oleh: Okke Nurtama
“… Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka
bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang-orang
yang bertawakal.” (Ali 'Imran [3]: 159)
Dalam suatu sesi pelatihan motivasi, seorang motivator selaku trainer
membawakan sebuah cerita. Memang terkesan seperti dongeng. Namun, pada
prinsipnya bahwa seluruh peserta diminta mengambil “poin terpenting” di akhir cerita
tersebut. Si trainer mulai menuturkan cerita tersebut.
“Suatu hari seorang pemburu bersama anjing terlatihnya masuk ke hutan untuk
berburu. Pemburu ini lebih senang berburu tanpa senjata seperti bedil ataupun panah
dan senjata tajam. Dia hanya mengandalkan keahlian anjingnya untuk menangkap
binatang buruan yang dia inginkan. Soal keahlian anjingnya tak perlu diragukan lagi.
Hampir seratus persen selalu berhasil mengejar dan menangkap mangsanya.
Setelah masuk agak ke dalam hutan terlihat seekor kijang betina di kejauhan.
Kijang itu sedang hamil rupanya. Walaupun ia sedang makan rerumputan namun
telinganya senantiasa waspada terhadap bahaya pemangsa. Kontan saja si pemburu
segera memberi perintah kepada anjing terlatihnya untuk menangkap kijang itu. Secepat
kilat terjadilah sebuah adegan pengejaran seru: anjing jenis herder pemburu mengejar
seekor kijang betina.
Sudah sepuluh menit berlalu, namun anjing itu belum berhasil menangkap
buruannya. Boro-boro menangkap, menyentuh buruannya saja belum berhasil. Semakin
gesit anjing itu mengejar, semakin cepat pula kijang itu berlari. Jalan berpohon-pohon,
berbatu-batu, mendaki, menurun, hingga jalan yang datar sekalipun tidak memberi satu
peluang pun bagi si anjing agar mudah menerkam mangsanya. Akhirnya setengah jam
telah berlalu. Si anjing pun kehabisan napas dan menghentikan pengejarannya. Melihat
si anjing kini berhenti, si kijang berdiri saja dan tersenyum dekat si anjing sambil
mengatur napas. Kemudian terjadilah dialog antara si anjing dengan si kijang.
Si anjing berkata, ‘Jang, Jang (Kijang)… kenapa sih kamu larinya kencang
betul? Aku nggak sanggup lagi mengejar kamu. Padahal aku ini anjing terlatih, lho.
Selain itu, kamu juga sedang hamil, kan?’
Apa jawaban si kijang? Kalau cerita ini menjadi ajang iklan mungkin dijawab,
‘Kijang memang tiada duanya’, tapi tidak demikian, si kijang menjawab dengan sejujurjujurnya,
‘Jing (Anjing), nggak ada yang istimewa dari cara aku berlari. Kalau kamu
berlari dengan tujuan hanya mengejar prestasi menyenangkan tuanmu, tapi kalau aku
berlari karena ingin menyelamatkan nyawaku dan nyawa calon anakku di kandunganku.
Inilah yang membedakan tujuan kita berlari, sehingga aku bisa berlari jauh lebih cepat
dan lebih kuat daripada kamu.’”
Setelah ditanyakan kepada peserta training motivasi itu tentang “poin
terpenting” dari cerita tersebut, ternyata tak satu pun yang tepat menjawab. “Poin
terpenting” yang dimaksud adalah “kekuatan motivasi”. Ya, motivasi dan sekaligus
dengan kekuatannya memang bukan benda berwujud fisik, namun mampu
menggerakkan seseorang—dalam hal ini “diperankan” oleh si kijang betina itu—dan
membuat proses kesuksesan berjalan menjadi jauh lebih baik.
“Keajaiban” Kekuatan Motivasi
Kekuatan motivasi memang identik dengan “keajaiban” pencapaian keberhasilan
setiap orang. Semakin baik seseorang mempunyai motivasi diri, semakin baik dia
memiliki persediaan kekuatan motivasi dirinya. Tentunya seorang muslim harus
memiliki motivasi yang sangat tinggi, yaitu motivasi dalam koridor keridhaan Allah
swt.—seperti telah dibahas dalam materi sebelumnya yang menyajikan bagaimana
seorang muslim membuat (mengatur) visi dan misi hidupnya. Setelah kekuatan motivasi
berubah menjadi ‘azam (tekad yang kuat), seorang muslim sudah seharusnya “berjalan”
dalam proses aktivitasnya menuju ketakwaaan dan senantiasa bersabar dan bertawakal
kepada Allah swt. dalam menempuh “perjalanannya” tersebut.
Kisah di atas tentang “si kijang dan si anjing pemburu” memberi ibrah
(pelajaran) penting bagi kita bahwa si kijang betina yang sedang hamil pun—tanpa kita
sangka sebelumnya—ternyata mampu memiliki kekuatan motivasi yang luar biasa, jauh
di atas kekuatan motivasi si anjing pemburu. Bukankah motivasi yang kuat untuk
menyelamatkan nyawa dan nyawa calon anaknya itu—sebagai salah satu karunia Allah
swt. yang amat berharga bagi makhluk-makhluk-Nya—lebih baik dan lebih mulia
daripada sekadar penghargaan prestasi di mata manusia? Walaupun si anjing pemburu
itu terlatih, walhasil tanpa kekuatan motivasi yang benar dan maksimal ternyata
pencapaian target keberhasilannya masih di bawah rencana.
Memanfaatkan Otak Kita
Motivasi memang merupakan gabungan dari berbagai faktor yang
menyebabkan, menyalurkan, dan mempertahankan tingkah laku. Karena itu, motivasi
dapat menjadi faktor pendorong untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat dan
meningkatkan kualitas hidup pribadi yang bersangkutan. Ia mampu mendorong
seseorang untuk berbuat atau tidak berbuat sama sekali. Ia juga mampu membuat
manusia menjadi semangat atau tidak semangat melakukan sesuatu. Motivasi dapat
meningkat dan menurun sesuai perintah otak manusianya.
Inilah hubungan yang sangat erat—yang dapat kita simpulkan—bahwa otak kita
berperan penting dalam menghasilkan “keajaiban” kekuatan motivasi diri kita. Karena
motivasi muncul dari otak manusia dan motivasi juga merupakan salah satu kerja otak,
maka latihlah otak Anda yang telah Allah swt. ciptakan sangat canggih dengan latihanlatihan
yang bersifat memicu, menyadarkan, dan meningkatkan motivasi Anda. Tidak
mustahil, Anda akan memiliki kekuatan motivasi yang canggih karena berangkat dari
otak Anda yang canggih dengan dilatih oleh cara-cara meningkatkan motivasi yang
canggih pula. Insya Allah di kesempatan berikutnya kita akan membahas beberapa
langkah meningkatkan motivasi diri. Wallahu a’lam.
.jpg)
DARI KELUARGA, ROSULULLAH MEMULAI DAKWAHNYA. PERADABAN YANG KUAT SELALU DIMULAI DARI KOMUNITAS YANG KECIL. BAGAIMANA BISA MENGELOLA PEKERJAAN YANG BESAR, KALAU PEKERJAAN KECIL DI HADAPANNYA BELUM BERES. MEMBANGUN KELUARGA YANG SEHAT DAN BERUALITAS SEBUAH KENISCAYAAN, BILA INGIN MENYELAMATKAN NEGERI INI DARI KEHANCURAN. KERUSAKAN BANGSA INI, KARENA KEGAGALAN MENJADIKAN KELUARGA SEBAGAI PUSAT PEMBINAAN MENTAL, MORAL DAN SPIRITUAL.
Laman
Rabu, 28 Juli 2010
KHITTAH PERJUANGAN MUHAMMADIYAH
KHITTAH PERJUANGAN
MUHAMMADIYAH
1.
HAKEKAT
MUHAMMADIYAH
Perkembangan masyarakat Indonesia, baik yang disebabkan oleh daya
dinamik dari dalam ataupun karena persentuhan dengan kebudayaan dari
luar, telah menyebabkan perubahan tertentu. Perubahan itu menyangkut
seluruh segi kehidupan masyarakat, diantaranya bidang sosial,
ekonomi, politik dan kebudayaan, yang menyangkut perubahan
struktural dan perubahan pada sikap serta tingkah laku dalam
hubungan antar manusia.
Muhammadiyah sebagi gerakan, dalam mengikuti perkembangan dan
perubahan itu, senantiasa mempunyai kepentingan untuk melaksanakan
amar ma’ruf nahi munkar, serta menyelenggarakan gerakan dan amal
usaha yang sesuai dengan lapangan yang dipilihnya, ialah masyarakat,
sebagai usaha Muhammadiyah untuk mencapai tujuannya: “
menegakkan
dan
menjunjung
tinggi
Agama
Islam
sehingga
terwujud
masyarakat
utama,
adil
dan
makmur
yang
diridhoi
Allah
SWT
”
.
Dalam melaksanakan usaha tersebut, Muhammadiyah berjalan diatas
prinsip gerakannya, seperti yang dimaksud di dalam Matan Keyakinan
dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah.
Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah itu senantiasa menjadi
landasan gerakan Muhammadiyah, juga bagi gerakan dan hubungannya
dengan kehidupan masyarakat dan ketatanegaraan, serta dalam
bekerjasama dnegan golongan Islam lainnya.
2.
MUHAMMADIYAH
DAN
MASYARAKAT
Sesuai dengan khittahnya, Muhammadiyah sebagai Persyarikatan
memilih dan menempatkan diri sebagai Gerakan Islam amar ma’ruf nahi
munkar dalam masyarakat, dengan maksud yang terutama ialah membentuk
keluarga dan masyarakat sejahtera sesuai dengan Dakwah Jama’ah.
Disamping itu Muhammadiyah menyelenggarakan amal usaha seperti
tersebut pada Anggaran Dasar pasal 4, dan senantiasa berikhtiar
untuk meningkatkan mutunya.
Penyelenggaraan amal usaha tersebut merupakan sebagian ikhtiar
Muhammadiyah untuk mencapai Keyakinan dan Cita-cita Hidup yang
bersumberkan ajaran Islam, dan bagi usaha untuk terwujudnya
masyarakat utama, adil dan makmur yang diridhai Allah SWT.
3.
MUHAMMADIYAH
DAN
POLITIK
Dalam bidang politik, Muhammadiyah berusaha sesuai dengan
khittahnya: dengan dakwah anar ma’ruf nahi munkar dalam arti dan
proporsi yang sebenar-benarnya, Muhammadiyah harus dapat membuktikan
secara operasional dan secara kongkrit riil, bahwa ajaran Islam
mampu mengatur masyarakat dalam Negara Republik Indonesia yang
berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menjadi masyaarakat
yang adil dan makmur serta sejatera, bahagia, materil dan spritual
yang diridhai Allah SWT. Dalam melaksanakan usaha itu, Muhammadiyah
tetap berpegang teguh pada kepribadiannya.
Usaha Muhamadiyah dalam bidang politik tersebut merupakan bagian
gerakannya dalam masyarakat, dan dilaksanakan berdasar landasan dan
peraturan yang berlaku dalam Muhammadiyah.
Dalam hubungan ini Muktamar Muhammadiyah ke-38 telah menegaskan
bahwa:
1. Muhammadiyah adalah Gerakan Dakwah Islam yang beramal dalam
segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat, tidak
mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan
afiliasi dari sesuatu Partai Politik atau Organisasi apapun.
2. Setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak asasinya dapat
tidak memasuki atau memasuki organisasi lain, sepanjang tidak
menyimpang dari Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan
ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Persyarikatan
Muhammadiyah.
4.
MUHAMMADIYAH
DAN
UKHUWAH
ISLAMIYAH
Sesuai dengan kepribadiannya, Muhammadiyah akan bekerjasama dengan
golongan Islam manapun juga dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan
Agama Islam serta membela kepentingannya.
Dalam melakukan kerjasama tersebut, Muham-madiyah tidak bermaksud
menggabungkan dan mensubdornisasikan organisasinya dengan organisasi
atau instiutsi lainnya.
5.
DASAR
PROGRAM
MUHAMMADIYAH
Berdasarkan landasan serta pendirian tersebut di atas dan dengan
memperhatikan kemampuan dan potensi Muhammadiyah dan bagiannya,
perlu di tetapkan langkah kebijaksanaan sebagai berikut:
1. Memulihkan kembali Muhammadiyah sebagai Persyarikatan yang
menghimpun sebagian anggota masyarakat, terdiri dari muslimin
dan muslimat yang beriman teguh, ta’at beribadah, berakhlaq
mulia, dan menjadi teladan yang baik di tengah-tengah
masyarakat.
2. Meningkatkan pengertian dan kematangan anggota Muhammadiyah
tentang hak dan kewajibannya sebagai warganegara dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan meningkatkan kepekaan
sosialnya terhadap persoalan-persoalan dan kesulitan hidup
masyarakat.
3. Menempatkan kedudukan Persyarikatan Muhammadiyah sebagai
gerakan untuk melaksanakan dakwah amar ma’ruf anhi munkar
kesegenap penjuru dan lapisan masyarakat serta di segala
bidang kehidupan di negara Republik Indonesia yang berdasar
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
(Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-40 di Surabaya)
MUHAMMADIYAH
1.
HAKEKAT
MUHAMMADIYAH
Perkembangan masyarakat Indonesia, baik yang disebabkan oleh daya
dinamik dari dalam ataupun karena persentuhan dengan kebudayaan dari
luar, telah menyebabkan perubahan tertentu. Perubahan itu menyangkut
seluruh segi kehidupan masyarakat, diantaranya bidang sosial,
ekonomi, politik dan kebudayaan, yang menyangkut perubahan
struktural dan perubahan pada sikap serta tingkah laku dalam
hubungan antar manusia.
Muhammadiyah sebagi gerakan, dalam mengikuti perkembangan dan
perubahan itu, senantiasa mempunyai kepentingan untuk melaksanakan
amar ma’ruf nahi munkar, serta menyelenggarakan gerakan dan amal
usaha yang sesuai dengan lapangan yang dipilihnya, ialah masyarakat,
sebagai usaha Muhammadiyah untuk mencapai tujuannya: “
menegakkan
dan
menjunjung
tinggi
Agama
Islam
sehingga
terwujud
masyarakat
utama,
adil
dan
makmur
yang
diridhoi
Allah
SWT
”
.
Dalam melaksanakan usaha tersebut, Muhammadiyah berjalan diatas
prinsip gerakannya, seperti yang dimaksud di dalam Matan Keyakinan
dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah.
Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah itu senantiasa menjadi
landasan gerakan Muhammadiyah, juga bagi gerakan dan hubungannya
dengan kehidupan masyarakat dan ketatanegaraan, serta dalam
bekerjasama dnegan golongan Islam lainnya.
2.
MUHAMMADIYAH
DAN
MASYARAKAT
Sesuai dengan khittahnya, Muhammadiyah sebagai Persyarikatan
memilih dan menempatkan diri sebagai Gerakan Islam amar ma’ruf nahi
munkar dalam masyarakat, dengan maksud yang terutama ialah membentuk
keluarga dan masyarakat sejahtera sesuai dengan Dakwah Jama’ah.
Disamping itu Muhammadiyah menyelenggarakan amal usaha seperti
tersebut pada Anggaran Dasar pasal 4, dan senantiasa berikhtiar
untuk meningkatkan mutunya.
Penyelenggaraan amal usaha tersebut merupakan sebagian ikhtiar
Muhammadiyah untuk mencapai Keyakinan dan Cita-cita Hidup yang
bersumberkan ajaran Islam, dan bagi usaha untuk terwujudnya
masyarakat utama, adil dan makmur yang diridhai Allah SWT.
3.
MUHAMMADIYAH
DAN
POLITIK
Dalam bidang politik, Muhammadiyah berusaha sesuai dengan
khittahnya: dengan dakwah anar ma’ruf nahi munkar dalam arti dan
proporsi yang sebenar-benarnya, Muhammadiyah harus dapat membuktikan
secara operasional dan secara kongkrit riil, bahwa ajaran Islam
mampu mengatur masyarakat dalam Negara Republik Indonesia yang
berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menjadi masyaarakat
yang adil dan makmur serta sejatera, bahagia, materil dan spritual
yang diridhai Allah SWT. Dalam melaksanakan usaha itu, Muhammadiyah
tetap berpegang teguh pada kepribadiannya.
Usaha Muhamadiyah dalam bidang politik tersebut merupakan bagian
gerakannya dalam masyarakat, dan dilaksanakan berdasar landasan dan
peraturan yang berlaku dalam Muhammadiyah.
Dalam hubungan ini Muktamar Muhammadiyah ke-38 telah menegaskan
bahwa:
1. Muhammadiyah adalah Gerakan Dakwah Islam yang beramal dalam
segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat, tidak
mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan
afiliasi dari sesuatu Partai Politik atau Organisasi apapun.
2. Setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak asasinya dapat
tidak memasuki atau memasuki organisasi lain, sepanjang tidak
menyimpang dari Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan
ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Persyarikatan
Muhammadiyah.
4.
MUHAMMADIYAH
DAN
UKHUWAH
ISLAMIYAH
Sesuai dengan kepribadiannya, Muhammadiyah akan bekerjasama dengan
golongan Islam manapun juga dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan
Agama Islam serta membela kepentingannya.
Dalam melakukan kerjasama tersebut, Muham-madiyah tidak bermaksud
menggabungkan dan mensubdornisasikan organisasinya dengan organisasi
atau instiutsi lainnya.
5.
DASAR
PROGRAM
MUHAMMADIYAH
Berdasarkan landasan serta pendirian tersebut di atas dan dengan
memperhatikan kemampuan dan potensi Muhammadiyah dan bagiannya,
perlu di tetapkan langkah kebijaksanaan sebagai berikut:
1. Memulihkan kembali Muhammadiyah sebagai Persyarikatan yang
menghimpun sebagian anggota masyarakat, terdiri dari muslimin
dan muslimat yang beriman teguh, ta’at beribadah, berakhlaq
mulia, dan menjadi teladan yang baik di tengah-tengah
masyarakat.
2. Meningkatkan pengertian dan kematangan anggota Muhammadiyah
tentang hak dan kewajibannya sebagai warganegara dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan meningkatkan kepekaan
sosialnya terhadap persoalan-persoalan dan kesulitan hidup
masyarakat.
3. Menempatkan kedudukan Persyarikatan Muhammadiyah sebagai
gerakan untuk melaksanakan dakwah amar ma’ruf anhi munkar
kesegenap penjuru dan lapisan masyarakat serta di segala
bidang kehidupan di negara Republik Indonesia yang berdasar
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
(Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-40 di Surabaya)
12 LANGKAH MUHAMMADIYAH (1938-1940)
12 LANGKAH MUHAMMADIYAH
(1938-1940)
MENJUNJUNG tinggi firman Tuhan Allah, yang termaktub di dalam Al-Qur’an dan mengambil tauladan akan perjalanan junjungan Nabi Muhammad yang terhimpun di dalam kitab Hadisnya, sebagaimana yang tersebut di bawah ini:
( tulisan Arab scan di Profil Muhammadiyah 2005 hal. 91-92)
“Dan ketahuilah bahwa Rasulullah ada pada kamu sekalian, yang mana kalau beliau yang menuruti kamu di dalam beberapa perkara, tentulah kamu sekalian keberatan. Akan tetapi Allah mempersukakan kamu sekalian kepada Iman dan telah memperhiaskannya di dalam hatimu sekalian; malah memperbencikan kamu sekalian daripada kekafiran, kecabulan, dan kedurhakaan. Mereka itulah yang berjalan lurus, mendapat karunia dan kenikmatan dari Tuhan Allah Yang Maha Menge-tahui dan Bijaksana”. (Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 7-8)
“Beringanlah kamu dan jangan kamu sekalian mempersusahkan serta bergembiralah dan jangan kamu membikin orang lari”. (HR. Bukhari dari Anas)
“Sesungguhnya yang paling baik dari kamu sekalian, ialah yang paling bagus budi pekertinya”. (HR. Bukhori dari Abdullah bin Amir)
“Beruntunglah orang yang meneliti ke’aiban (kesalahan) dirinya sendiri, daripada meneliti kea’iban orang lain”. (HR. Firdaus dari Anas).
“Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu sekalian orang-orang yang menegakkan keadilan, bersaksi kepada Tuhan Allah, meskipun mengenal dirimu sendiri atau kedua ayah bunda dan sanak saudaramu. kalau keadaannya kaya atau miskin, maka Tuhan Allah lebih terdahulu dari keduanya. Maka janganlah kamu menuruti hawa nafsu pengadilanmu, kamu condong atau kamu tolak; sesungguhnya Tuhan Allah itu mengetahui pekerjaanmu”. (Al-Qur’an surat An-Nisa’ 135)
“Turutlah Tuhan Allah dan utusan-Nya serta janganlah kamu berselisihan yang mencerai-beraikan kamu dan menghilangkan kekuatanmu. Maka sabarlah, sesungguhnya Tuhan Allah itu menyertai orang-orang yang sabar”. (Al-Qur’an surat Al-Anfal ayat 46)
“Kebijaksanaan itu diberikan siapa yang dikehendaki oleh Tuhan Allah, dan barang siapa yang sudah diberi kebijaksanaan, dialah yang mendapat kebaikan yagn banyak. Akan tetapi orang tidak ingat, kecuali yang sama mempunyai fikiran”. (Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 269).
Maka Hoofdbestuur (PP) Muhammadiyah dengan sungguh-sungguh melangsungkan langkahnya yang lebih luas dan menetapkan jejaknya yang kokoh, dalam tahun 1938-1940 akan:
1. Memperdalam Masuknya Iman
Hendaklah iman itu ditablighkan, disiarkan dengan selebar-lebarnya, yakni diberi riwayatnya dan diberi dalil buktinya, dipengaruhkan dan digembirakan, sampai iman itu mendarah daging, masuk di tulang sumsum dan mendalam di hati sanubari kita, sekutu-sekutu Muham-madiyah seumumnya.
2. Memperluas Faham Agama
Hendaklah faham agama yagn sesungguhnya itu dibentangkan dengan arti yang seluas-luasnya, boleh diujikan dan diperbandingkan, sehingga kita sekutu-sekutu Muhammadiyah mengerti perluasan Agama Islam, itulah yang paling benar, ringan dan berguna, maka, mendahulukanlah pekerjaan keagamaan itu.
3. Memperbuahkan Budi Pekerti
Hendaklah diterangkan dengan jelas tentang akhlaq yang terpuji dan akhlaq yang tercela serta diperbahaskannya tentang memakainya akhlaq yang mahmudah dan menjauhkannya akhlaq yang madzmumah itu, sehingga menjadi amalan kita, ya seorang sekutu Muhammadiyah, kita berbudi pekerti yang baik lagi berjasa.
4. Menuntun Amalan Intiqad (self correctie)
Hendaklah senantiasa melakukan perbaikan diri kita sendiri (self correctie), segala usaha dan pekerjaan kita, kecuali diperbesarkan, supaya diperbaikilah juga. Buah penyelidikan perbaikan itu dimusyawarahkan di tempat yang tentu, dengan dasar mendatangkan maslahat dan menjauhkan madlarat, sedang yang kedua ini didahulukan dari yang pertama.
5. Menguatkan Persatuan
Hendaklah menjadikan tujuan kita juga, akan menguatkan persatuan organisasi dan mengokohkan pergaulan persaudaraan kita serta mempersamakan hak-hak dan memerdekakan lahirnya pikiran-pikiran kita.
6. Menegakkan Keadilan
Hendaklah keadilan itu dijalankan semestinya, walaupun akan mengenai badan sendiri, dan ketetapan yang sudah seadil-adilnya itu dibela dan dipertahankan di mana juga.
7. Melakukan Kebijaksanaan
Dalam gerak kita tidaklah melupakan hikmah, hikmah hendaklah disendikan kepada Kitabullah dan Sunnaturrasulillah. Kebijaksanaan yang menyalahi ke-dua pegangan kita itu, mestilah kita buang, karena itu bukan kebijaksanaan yang sesungguhnya.
Dalam pada itu, dengan tidak mengurangi segala gerakan kemuhammadiyahan, maka pada tahun 1838-1940 H. Muhammadiyah mengemukakan pekerjaan akan:
8. Menguatkan Majlis Tanwir
Sebab majlis ini nyata-nyata berpengaruh besar dalam kalangan kita Muhammadiyah dan sudah menjadi tangan kanan yang bertenaga disisi Hoofdbestuur (PP) Muhammadiyah, maka sewajibnyalah kita perteguhkan dengan diatur yang sebaik-baiknya.
9. Mengadakan Konperensi Bagian
Untuk mengadakan garis yang tentu dalam langkah-langkah bagian kita, maka hendaklah kita berikhtiar mengadakan Konperensi bagian, umpama : Konperensi Bagian: Penyiaran Agama seluruh Indonesia dan lain-lain sebagainya.
10. Mempermusyawaratkan Putusan
Agar dapat keringanan dan dipermudahkan pekerjaan, maka hendaklah setiap ada keputusan yang mengenai kepala Majlis (Bagian), dimusyawarahkanlah dengan yang bersangkutan itu lebih dahulu, sehingga dapatlah mentanfidzkan dengan cara menghasilkannya dengan segera.
11. Mengawaskan Gerakan Jalan
Pemandangan kita hendaklah kita tajamkan akan mengawasi gerak kita yang ada di dalam Muhammadiyah, yang sudah lalu, yang masih langsung dan yang bertambah (yang akan datang/berkembang).
12. Mempersambungkan Gerakan Luar
Kira berdaya-upaya akan memperhubungkan diri kepada iuran (ekstern), lain-lain persyarikatan dan pergerakan di Indonesia, dengan dasar Silaturahim, tolong-menolong dalam segala kebaikan, yang tidak mengubah asasnya masing-masing, terutama perhubungan kepada persyarikatan dan pemimpin Islam.
(1938-1940)
MENJUNJUNG tinggi firman Tuhan Allah, yang termaktub di dalam Al-Qur’an dan mengambil tauladan akan perjalanan junjungan Nabi Muhammad yang terhimpun di dalam kitab Hadisnya, sebagaimana yang tersebut di bawah ini:
( tulisan Arab scan di Profil Muhammadiyah 2005 hal. 91-92)
“Dan ketahuilah bahwa Rasulullah ada pada kamu sekalian, yang mana kalau beliau yang menuruti kamu di dalam beberapa perkara, tentulah kamu sekalian keberatan. Akan tetapi Allah mempersukakan kamu sekalian kepada Iman dan telah memperhiaskannya di dalam hatimu sekalian; malah memperbencikan kamu sekalian daripada kekafiran, kecabulan, dan kedurhakaan. Mereka itulah yang berjalan lurus, mendapat karunia dan kenikmatan dari Tuhan Allah Yang Maha Menge-tahui dan Bijaksana”. (Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 7-8)
“Beringanlah kamu dan jangan kamu sekalian mempersusahkan serta bergembiralah dan jangan kamu membikin orang lari”. (HR. Bukhari dari Anas)
“Sesungguhnya yang paling baik dari kamu sekalian, ialah yang paling bagus budi pekertinya”. (HR. Bukhori dari Abdullah bin Amir)
“Beruntunglah orang yang meneliti ke’aiban (kesalahan) dirinya sendiri, daripada meneliti kea’iban orang lain”. (HR. Firdaus dari Anas).
“Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu sekalian orang-orang yang menegakkan keadilan, bersaksi kepada Tuhan Allah, meskipun mengenal dirimu sendiri atau kedua ayah bunda dan sanak saudaramu. kalau keadaannya kaya atau miskin, maka Tuhan Allah lebih terdahulu dari keduanya. Maka janganlah kamu menuruti hawa nafsu pengadilanmu, kamu condong atau kamu tolak; sesungguhnya Tuhan Allah itu mengetahui pekerjaanmu”. (Al-Qur’an surat An-Nisa’ 135)
“Turutlah Tuhan Allah dan utusan-Nya serta janganlah kamu berselisihan yang mencerai-beraikan kamu dan menghilangkan kekuatanmu. Maka sabarlah, sesungguhnya Tuhan Allah itu menyertai orang-orang yang sabar”. (Al-Qur’an surat Al-Anfal ayat 46)
“Kebijaksanaan itu diberikan siapa yang dikehendaki oleh Tuhan Allah, dan barang siapa yang sudah diberi kebijaksanaan, dialah yang mendapat kebaikan yagn banyak. Akan tetapi orang tidak ingat, kecuali yang sama mempunyai fikiran”. (Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 269).
Maka Hoofdbestuur (PP) Muhammadiyah dengan sungguh-sungguh melangsungkan langkahnya yang lebih luas dan menetapkan jejaknya yang kokoh, dalam tahun 1938-1940 akan:
1. Memperdalam Masuknya Iman
Hendaklah iman itu ditablighkan, disiarkan dengan selebar-lebarnya, yakni diberi riwayatnya dan diberi dalil buktinya, dipengaruhkan dan digembirakan, sampai iman itu mendarah daging, masuk di tulang sumsum dan mendalam di hati sanubari kita, sekutu-sekutu Muham-madiyah seumumnya.
2. Memperluas Faham Agama
Hendaklah faham agama yagn sesungguhnya itu dibentangkan dengan arti yang seluas-luasnya, boleh diujikan dan diperbandingkan, sehingga kita sekutu-sekutu Muhammadiyah mengerti perluasan Agama Islam, itulah yang paling benar, ringan dan berguna, maka, mendahulukanlah pekerjaan keagamaan itu.
3. Memperbuahkan Budi Pekerti
Hendaklah diterangkan dengan jelas tentang akhlaq yang terpuji dan akhlaq yang tercela serta diperbahaskannya tentang memakainya akhlaq yang mahmudah dan menjauhkannya akhlaq yang madzmumah itu, sehingga menjadi amalan kita, ya seorang sekutu Muhammadiyah, kita berbudi pekerti yang baik lagi berjasa.
4. Menuntun Amalan Intiqad (self correctie)
Hendaklah senantiasa melakukan perbaikan diri kita sendiri (self correctie), segala usaha dan pekerjaan kita, kecuali diperbesarkan, supaya diperbaikilah juga. Buah penyelidikan perbaikan itu dimusyawarahkan di tempat yang tentu, dengan dasar mendatangkan maslahat dan menjauhkan madlarat, sedang yang kedua ini didahulukan dari yang pertama.
5. Menguatkan Persatuan
Hendaklah menjadikan tujuan kita juga, akan menguatkan persatuan organisasi dan mengokohkan pergaulan persaudaraan kita serta mempersamakan hak-hak dan memerdekakan lahirnya pikiran-pikiran kita.
6. Menegakkan Keadilan
Hendaklah keadilan itu dijalankan semestinya, walaupun akan mengenai badan sendiri, dan ketetapan yang sudah seadil-adilnya itu dibela dan dipertahankan di mana juga.
7. Melakukan Kebijaksanaan
Dalam gerak kita tidaklah melupakan hikmah, hikmah hendaklah disendikan kepada Kitabullah dan Sunnaturrasulillah. Kebijaksanaan yang menyalahi ke-dua pegangan kita itu, mestilah kita buang, karena itu bukan kebijaksanaan yang sesungguhnya.
Dalam pada itu, dengan tidak mengurangi segala gerakan kemuhammadiyahan, maka pada tahun 1838-1940 H. Muhammadiyah mengemukakan pekerjaan akan:
8. Menguatkan Majlis Tanwir
Sebab majlis ini nyata-nyata berpengaruh besar dalam kalangan kita Muhammadiyah dan sudah menjadi tangan kanan yang bertenaga disisi Hoofdbestuur (PP) Muhammadiyah, maka sewajibnyalah kita perteguhkan dengan diatur yang sebaik-baiknya.
9. Mengadakan Konperensi Bagian
Untuk mengadakan garis yang tentu dalam langkah-langkah bagian kita, maka hendaklah kita berikhtiar mengadakan Konperensi bagian, umpama : Konperensi Bagian: Penyiaran Agama seluruh Indonesia dan lain-lain sebagainya.
10. Mempermusyawaratkan Putusan
Agar dapat keringanan dan dipermudahkan pekerjaan, maka hendaklah setiap ada keputusan yang mengenai kepala Majlis (Bagian), dimusyawarahkanlah dengan yang bersangkutan itu lebih dahulu, sehingga dapatlah mentanfidzkan dengan cara menghasilkannya dengan segera.
11. Mengawaskan Gerakan Jalan
Pemandangan kita hendaklah kita tajamkan akan mengawasi gerak kita yang ada di dalam Muhammadiyah, yang sudah lalu, yang masih langsung dan yang bertambah (yang akan datang/berkembang).
12. Mempersambungkan Gerakan Luar
Kira berdaya-upaya akan memperhubungkan diri kepada iuran (ekstern), lain-lain persyarikatan dan pergerakan di Indonesia, dengan dasar Silaturahim, tolong-menolong dalam segala kebaikan, yang tidak mengubah asasnya masing-masing, terutama perhubungan kepada persyarikatan dan pemimpin Islam.
Memimpin dengan Rendah Hati
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengingatkan, pemimpin adalah pelayan umatnya. Itulah sikap pemimpin dalam Islam. Bukan minta dilayani
Oleh: Hanif Hannan
Setelah diumumkan pengangkatannya menjadi Khalifah, Umar bin Abdul Aziz menyendiri di rumahnya. Tak ada orang yang menemui, beliau pun tak mau keluar menemui seorang.
Dalam kesendirian itu, beliau menghabiskan waktu dengan bertafakkur, berdzikir, dan berdoa. Pengangkatannya sebagai khalifah tidak disambutnya dengan pesta, tetapi justru dengan cucuran air mata.
Tiga hari kemudian beliau keluar. Para pengawal menyambutnya, hendak memberi hormat. Umar malah mencegahnya. "Kalian jangan memulai salam kepadaku, bahkan salam itu kewajiban saya kepada kalian."
Itulah perintah pertama Khalifah kepada pengawal-pengawalnya.
Umar menuju ke sebuah ruangan. Para pembesar dan tokoh telah menunggunya. Hadirin terdiam dan serentak bangkit berdiri memberi hormat. Apa kata beliau?
"Wahai sekalian manusia, jika kalian berdiri, saya pun berdiri. Jika kalian duduk, saya pun duduk. Manusia itu sebenarnya hanya berhak berdiri di hadapan Rabbul-'Alamin." Itulah yang dikatakan pertama kali kepada rakyatnya.
Buka Hati
Sikap pemimpin dalam Islam, sejatinya memang harus demikian. Sebagaimana kata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, pemimpin adalah pelayan umatnya.
Sabda Nabi itu sungguh istimewa, sebab seorang pemimpin biasanya seperti seorang raja. Dan sebagai Khalifah, Umar bin Abdul Aziz mewarisi budaya yang demikian itu; hidup dalam gelimang kemewahan dan kekuasaan.
Ternyata Umar tidak serta merta meneruskan budaya yang sebenarnya menguntungkannya secara pribadi itu. Beliau tak mau dihormati berlebihan dan hidup dalam kemewahan. Ia memilih sikap rendah hati dan sederhana.
Sebagai pemimpin besar, bersikap rendah hati, sederhana, dan melayani tentu tidak mudah. Apalagi bila kesempatan bermewah-mewah itu memang terbuka di depan mata, siapa tak tergiur?
Di negeri kita ini, kedudukan dan jabatan malah jadi rebutan. Bahkan banyak yang mati-matian berkorban apa saja, dengan segala cara, untuk mendapatkannya. Setelah berhasil meraihnya, pertama kali yang dilakukan adalah pesta kemenangan. Kemudian segeralah digunakan aji mumpung. Sim salabim, jadilah OKB (Orang Kaya Baru). Gaya hidup dan pergaulannya berbeda dengan sebelumnya. Seolah menikmati kemewahan itulah memang impiannya.
Mari kita membuka hati ini. Dengan berbagai upaya dan gaya hidup mewah itu, apa sih sesungguhnya dicari? Dengan mobil mewah, rumah megah, pakaian serba mahal, apa sebenarnya yang dirindukan lubuk hati? Mungkin terdetak dorongan hidup terhormat dan dimuliakan.
Tentu mencapai hidup seperti itu suatu yang normal saja. Malah aneh kalau ada orang bercita-cita hidup hina dan direndahkan. Tetapi benarkah kemuliaan dan kehormatan dapat dicapai dengan hidup berbungkus kemewahan? Coba sebutkan nama-nama orang yang menggetarkan hati karena kemuliaan dan kehormatannya. Cermati satu per satu. Benarkah hati Anda terkesan karena kemewahan mereka?
Mari kita bercermin kepada Umar. Kita tenangkan hati dan jernihkan pikiran sejenak. Andai beliau memilih cara hidup mewah dan bermain kekuasaan sebagaimana raja-raja yang lain, akankah memiliki nama harum seperti saat ini?
Mungkin saja kemewahan singgasana bisa menjadi topeng kemuliaan di muka rakyat. Tetapi berapa lama “kemuliaan†seperti itu bisa bertahan?
Lihatlah para pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kesombongan dan kemewahan. Bagaimana akhir kehidupan mereka? Masa tua tidak hidup damai, malah gundah gulana karena dijerat hukum. Terbukti bahwa kemuliaan yang dibungkus materi hanyalah semu dan tipuan belaka.
Sungguh Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menyukai orang-orang sombong. "Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu." [QS: Luqman: 18-19]
Misi Mulia
Ya, memang tidak mudah untuk selalu rendah hati dan memilih hidup melayani. Apalagi kalau terjebak pada dorongan biologis dan egoisme semata. Maunya justru dilayani.
Ketika sedang memegang kekuasaan, yang dipikirkan adalah apa yang dapat diambil dengan posisi ini, bukan kebaikan apa yang dapat diberikan pada orang lain. Melayani dirasakan sebagai suatu kehinaan, seolah yang harus melakukan adalah orang-orang rendahan. Padahal melayani inilah misi mulia yang sebenarnya diamanahkan Allah kepada hamba-Nya yang terpilih; Rasulullah dan orang-orang yang mengikuti jejaknya.
"Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam." (Al-Anbiyaa': 107). Dengan berbagi rahmat, tersebarlah belas kasih dan kedamaian dalam kehidupan.
Dalam bekerja, seorang pemimpin akan senantiasa berpikir bagaimana karyawannya sejahtera. Karyawan pun berpikir bagaimana bisa memberikan layanan terbaik melalui pekerjaannya.
Sebagai pemimpin keluarga, seorang ayah yang mengasihi keluarganya akan mengantar pada suasana sakinah. Anak-anaknya pun termotivasi untuk meneladani dan berbakti kepada kedua orangtuanya.
Setiap orang yang melayani dengan ikhlas berarti telah berpartisipasi menebar rahmat ke seluruh alam. Itulah tugas terhormat seorang pemimpin. Dan setiap kita pada hakikatnya adalah pemimpin, begitu sabda Rasulullah.
Bila setiap orang berpikir minta dilayani, yang terjadi justru krisis. Pemimpin minta dilayani stafnya. Majikan memeras para karyawan. Petugas mempersulit rakyat. Orientasinya bukan rahmatan lil ‘alamin, tetapi keuntungan pribadi.
Kekayaan alam yang mestinya untuk kesejahteraan rakyat, malah dikuras untuk bermewah-mewah diri dan kroninya. Hutan digunduli sehingga banjir dan longsor di sana-sini. Rakyatlah yang jadi korban.
Melihat perilaku pemimpin yang seperti itu, rakyat pun ikut-ikutan mencari keuntungan sendiri. Sudah kaya dan berkecukupan, namun belum bersyukur dan malah berebut bantuan yang mestinya untuk fakir miskin. Sungguh cara hidup yang tidak akan berujung kepada kemuliaan, tetapi justru kehinaan. Dan inilah yang banyak disaksikan di sekeliling kita sekarang.
"Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya." [QS: Al-Israa': 16]
Agar mampu rahmatan lil 'alamin, kita perlu mentransformasi diri. Pusat diri yang sebelumnya egoisme dan hawa nafsu, harus diganti dengan kebeningan nurani.
Sumber Inspirasi
Bayangkan kalau ada orang yang rendah hati, menghormati sesama, dan suka melayani. Tidakkah hati Anda menyukai dan terkesan dengan keikhlasannya?
Orang yang demikian itu akan membahagiakan hati sesama. Kalau dia seorang bapak, keluarganya akan menghormatinya dengan tulus. Kalau seorang ibu, anak-anaknya tentu akan senantiasa merindukan. Kalau seorang pemimpin, tentu akan menginspirasi hati sekalian rakyatnya.
Umar bin Abdul Aziz telah membuktikan keberkahan rendah hati. Meski hanya menjabat dua tahun, terjadi perubahan besar. Akhlak rakyatnya yang sebelumnya buruk seketika berubah menjadi baik.
Umat akan terinspirasi pemimpin yang rendah hati dan teramat jujur itu. Yang menjadi pembicaraan heboh saat itu di berbagai sudut kota, warung, sampai pinggiran ladang di desa adalah masalah iman dan amal shalih. Mungkin seheboh dunia ini ketika dihipnotis oleh perhelatan Piala Dunia yang belum lama berakhir.
Masyarakat giat bekerja dan sejahtera. Kemakmuran mencapai puncaknya. Rakyat berdaya ekonominya dan mereka berlomba menunaikan zakat. Fakir miskin terentaskan sehingga sangat sulit mencari orang yang menerima zakat. Memberi dan memberi, itu yang menjadi paradigma mereka. Bukan meminta dan meminta.
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi." [QS: Al-A'raaf: 96]
Alam dan binatang pun digambarkan turut berbahagia. Para gembala yang biasanya takut kambingnya terancam dimakan oleh serigala, saat itu kedua binatang ini seolah berteman saja. Pintu keberkahan dibuka Allah bila manusia telah menunaikan tugas sebagai khalifah.
Atas prestasi gemilang itu, tidak mengherankan jika beliau digolongkan sebagai Khulafa'u Ar-Rasyidin kelima setelah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. [Sahid/www.hidayatullah.com]
Oleh: Hanif Hannan
Dalam kesendirian itu, beliau menghabiskan waktu dengan bertafakkur, berdzikir, dan berdoa. Pengangkatannya sebagai khalifah tidak disambutnya dengan pesta, tetapi justru dengan cucuran air mata.
Tiga hari kemudian beliau keluar. Para pengawal menyambutnya, hendak memberi hormat. Umar malah mencegahnya. "Kalian jangan memulai salam kepadaku, bahkan salam itu kewajiban saya kepada kalian."
Itulah perintah pertama Khalifah kepada pengawal-pengawalnya.
Umar menuju ke sebuah ruangan. Para pembesar dan tokoh telah menunggunya. Hadirin terdiam dan serentak bangkit berdiri memberi hormat. Apa kata beliau?
"Wahai sekalian manusia, jika kalian berdiri, saya pun berdiri. Jika kalian duduk, saya pun duduk. Manusia itu sebenarnya hanya berhak berdiri di hadapan Rabbul-'Alamin." Itulah yang dikatakan pertama kali kepada rakyatnya.
Buka Hati
Sikap pemimpin dalam Islam, sejatinya memang harus demikian. Sebagaimana kata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, pemimpin adalah pelayan umatnya.
Sabda Nabi itu sungguh istimewa, sebab seorang pemimpin biasanya seperti seorang raja. Dan sebagai Khalifah, Umar bin Abdul Aziz mewarisi budaya yang demikian itu; hidup dalam gelimang kemewahan dan kekuasaan.
Ternyata Umar tidak serta merta meneruskan budaya yang sebenarnya menguntungkannya secara pribadi itu. Beliau tak mau dihormati berlebihan dan hidup dalam kemewahan. Ia memilih sikap rendah hati dan sederhana.
Sebagai pemimpin besar, bersikap rendah hati, sederhana, dan melayani tentu tidak mudah. Apalagi bila kesempatan bermewah-mewah itu memang terbuka di depan mata, siapa tak tergiur?
Di negeri kita ini, kedudukan dan jabatan malah jadi rebutan. Bahkan banyak yang mati-matian berkorban apa saja, dengan segala cara, untuk mendapatkannya. Setelah berhasil meraihnya, pertama kali yang dilakukan adalah pesta kemenangan. Kemudian segeralah digunakan aji mumpung. Sim salabim, jadilah OKB (Orang Kaya Baru). Gaya hidup dan pergaulannya berbeda dengan sebelumnya. Seolah menikmati kemewahan itulah memang impiannya.
Mari kita membuka hati ini. Dengan berbagai upaya dan gaya hidup mewah itu, apa sih sesungguhnya dicari? Dengan mobil mewah, rumah megah, pakaian serba mahal, apa sebenarnya yang dirindukan lubuk hati? Mungkin terdetak dorongan hidup terhormat dan dimuliakan.
Tentu mencapai hidup seperti itu suatu yang normal saja. Malah aneh kalau ada orang bercita-cita hidup hina dan direndahkan. Tetapi benarkah kemuliaan dan kehormatan dapat dicapai dengan hidup berbungkus kemewahan? Coba sebutkan nama-nama orang yang menggetarkan hati karena kemuliaan dan kehormatannya. Cermati satu per satu. Benarkah hati Anda terkesan karena kemewahan mereka?
Mari kita bercermin kepada Umar. Kita tenangkan hati dan jernihkan pikiran sejenak. Andai beliau memilih cara hidup mewah dan bermain kekuasaan sebagaimana raja-raja yang lain, akankah memiliki nama harum seperti saat ini?
Mungkin saja kemewahan singgasana bisa menjadi topeng kemuliaan di muka rakyat. Tetapi berapa lama “kemuliaan†seperti itu bisa bertahan?
Lihatlah para pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kesombongan dan kemewahan. Bagaimana akhir kehidupan mereka? Masa tua tidak hidup damai, malah gundah gulana karena dijerat hukum. Terbukti bahwa kemuliaan yang dibungkus materi hanyalah semu dan tipuan belaka.
Sungguh Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menyukai orang-orang sombong. "Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu." [QS: Luqman: 18-19]
Misi Mulia
Ya, memang tidak mudah untuk selalu rendah hati dan memilih hidup melayani. Apalagi kalau terjebak pada dorongan biologis dan egoisme semata. Maunya justru dilayani.
Ketika sedang memegang kekuasaan, yang dipikirkan adalah apa yang dapat diambil dengan posisi ini, bukan kebaikan apa yang dapat diberikan pada orang lain. Melayani dirasakan sebagai suatu kehinaan, seolah yang harus melakukan adalah orang-orang rendahan. Padahal melayani inilah misi mulia yang sebenarnya diamanahkan Allah kepada hamba-Nya yang terpilih; Rasulullah dan orang-orang yang mengikuti jejaknya.
"Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam." (Al-Anbiyaa': 107). Dengan berbagi rahmat, tersebarlah belas kasih dan kedamaian dalam kehidupan.
Dalam bekerja, seorang pemimpin akan senantiasa berpikir bagaimana karyawannya sejahtera. Karyawan pun berpikir bagaimana bisa memberikan layanan terbaik melalui pekerjaannya.
Sebagai pemimpin keluarga, seorang ayah yang mengasihi keluarganya akan mengantar pada suasana sakinah. Anak-anaknya pun termotivasi untuk meneladani dan berbakti kepada kedua orangtuanya.
Setiap orang yang melayani dengan ikhlas berarti telah berpartisipasi menebar rahmat ke seluruh alam. Itulah tugas terhormat seorang pemimpin. Dan setiap kita pada hakikatnya adalah pemimpin, begitu sabda Rasulullah.
Bila setiap orang berpikir minta dilayani, yang terjadi justru krisis. Pemimpin minta dilayani stafnya. Majikan memeras para karyawan. Petugas mempersulit rakyat. Orientasinya bukan rahmatan lil ‘alamin, tetapi keuntungan pribadi.
Kekayaan alam yang mestinya untuk kesejahteraan rakyat, malah dikuras untuk bermewah-mewah diri dan kroninya. Hutan digunduli sehingga banjir dan longsor di sana-sini. Rakyatlah yang jadi korban.
Melihat perilaku pemimpin yang seperti itu, rakyat pun ikut-ikutan mencari keuntungan sendiri. Sudah kaya dan berkecukupan, namun belum bersyukur dan malah berebut bantuan yang mestinya untuk fakir miskin. Sungguh cara hidup yang tidak akan berujung kepada kemuliaan, tetapi justru kehinaan. Dan inilah yang banyak disaksikan di sekeliling kita sekarang.
"Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya." [QS: Al-Israa': 16]
Agar mampu rahmatan lil 'alamin, kita perlu mentransformasi diri. Pusat diri yang sebelumnya egoisme dan hawa nafsu, harus diganti dengan kebeningan nurani.
Sumber Inspirasi
Bayangkan kalau ada orang yang rendah hati, menghormati sesama, dan suka melayani. Tidakkah hati Anda menyukai dan terkesan dengan keikhlasannya?
Orang yang demikian itu akan membahagiakan hati sesama. Kalau dia seorang bapak, keluarganya akan menghormatinya dengan tulus. Kalau seorang ibu, anak-anaknya tentu akan senantiasa merindukan. Kalau seorang pemimpin, tentu akan menginspirasi hati sekalian rakyatnya.
Umar bin Abdul Aziz telah membuktikan keberkahan rendah hati. Meski hanya menjabat dua tahun, terjadi perubahan besar. Akhlak rakyatnya yang sebelumnya buruk seketika berubah menjadi baik.
Umat akan terinspirasi pemimpin yang rendah hati dan teramat jujur itu. Yang menjadi pembicaraan heboh saat itu di berbagai sudut kota, warung, sampai pinggiran ladang di desa adalah masalah iman dan amal shalih. Mungkin seheboh dunia ini ketika dihipnotis oleh perhelatan Piala Dunia yang belum lama berakhir.
Masyarakat giat bekerja dan sejahtera. Kemakmuran mencapai puncaknya. Rakyat berdaya ekonominya dan mereka berlomba menunaikan zakat. Fakir miskin terentaskan sehingga sangat sulit mencari orang yang menerima zakat. Memberi dan memberi, itu yang menjadi paradigma mereka. Bukan meminta dan meminta.
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi." [QS: Al-A'raaf: 96]
Alam dan binatang pun digambarkan turut berbahagia. Para gembala yang biasanya takut kambingnya terancam dimakan oleh serigala, saat itu kedua binatang ini seolah berteman saja. Pintu keberkahan dibuka Allah bila manusia telah menunaikan tugas sebagai khalifah.
Atas prestasi gemilang itu, tidak mengherankan jika beliau digolongkan sebagai Khulafa'u Ar-Rasyidin kelima setelah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. [Sahid/www.hidayatullah.com]
Langganan:
Postingan (Atom)